Viralaceh.com, Banda Aceh – Blang Padang Banda Aceh adalah kawasan strategis yang menyimpan banyak nilai sejarah. Di tengah areal inilah sejak abad ke-19 masyarakat Aceh mewakafkan tanahnya untuk kemaslahatan umat, khususnya untuk kepentingan Masjid Raya Baiturrahman. Ini bukan sekadar asumsi sejarah, tapi fakta yang tercatat dalam dokumen wakaf dan pengakuan lisan yang diwariskan turun-temurun.
Namun, sejak dekade tertentu, pengelolaan tanah ini berpindah ke tangan institusi negara, khususnya instansi militer. Di sinilah letak persoalan yang perlu kita luruskan. Karena dalam hukum Islam dan hukum positif Indonesia, tanah wakaf tidak boleh berubah status dan tidak boleh berpindah pengelolaan kecuali kepada nadzir yang sah menurut niat wakif.
Sejarah Singkat Tanah Wakaf Blang Padang
Dalam berbagai catatan, termasuk arsip kolonial Belanda dan dokumen keagamaan lokal, disebutkan bahwa kawasan Blang Padang telah lama menjadi tempat yang diwakafkan oleh masyarakat Aceh. Tujuannya jelas: untuk mendukung kemaslahatan umat dan menopang kegiatan keagamaan Masjid Raya Baiturrahman. Saat itu, pengelola (nadzir) utamanya adalah imam besar masjid dan perangkat keagamaan Kesultanan Aceh.
Namun, pasca agresi militer Belanda dan kemudian integrasi wilayah Aceh ke dalam negara Indonesia, terjadi peralihan fungsi atas tanah ini. TNI yang pada awalnya menggunakan areal ini untuk latihan dan kepentingan keamanan negara, perlahan menjadi pihak dominan dalam pengelolaan. Padahal, tidak ada bukti sah bahwa terjadi pelepasan hak dari nadzir sebelumnya kepada institusi militer.
Apresiasi untuk Langkah Gubernur Aceh: Muallem Punya Keberanian Politik
Dalam konteks upaya pengembalian hak wakaf tersebut, kita patut memberikan apresiasi tinggi terhadap langkah yang diambil oleh Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Muallem). Dalam tahun pertama masa kepemimpinannya, Muallem menunjukkan keberanian politik dan keberpihakan terhadap marwah syariat Islam Aceh dengan memfasilitasi proses pengembalian Blang Padang sebagai tanah wakaf umat. Beliau memberi atensi khusus terhadap permintaan masyarakat dan ulama agar aset tersebut dikembalikan kepada fungsinya yang semula.
Langkah ini bukan hanya bentuk keberpihakan kepada umat, tetapi juga bukti bahwa seorang pemimpin Aceh mampu berdiri tegak atas dasar konstitusi lokal dan nilai-nilai syariat. Apa yang dilakukan Muallem menjadi preseden penting yang mesti dilanjutkan oleh kepemimpinan Aceh hari ini dan masa depan. Tanah wakaf bukanlah aset negara, melainkan amanah abadi dari umat yang harus dikembalikan kepada umat.
Aspek Hukum Tanah Wakaf: Tidak Boleh Berpindah Tangan
Dalam perspektif hukum Islam, wakaf adalah akad ikrar penyerahan harta untuk kepentingan ibadah dan sosial, yang bersifat mu’abbad (kekal). Artinya, harta wakaf tidak boleh dijual, diwariskan, disita, atau dialihkan fungsinya di luar tujuan wakif.
Prinsip ini ditegaskan dalam:
HR. Muslim: “Tanah itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.”
UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 40:
“Harta benda wakaf dilarang dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.”
Dengan demikian, masuknya institusi negara seperti TNI sebagai pengelola Blang Padang, tanpa proses hukum wakaf yang sah, merupakan pelanggaran terhadap prinsip dasar hukum wakaf.
Secara logika hukum, kalau hari ini TNI mengelola kawasan tersebut, maka pasti ada pihak yang mengelola sebelumnya, dan pihak itulah yang menjadi penerima wakaf pertama (nadzir awal). Dalam hal ini, penerima tersebut adalah Masjid Raya Baiturrahman. Maka, seharusnya, jika tidak ada pengalihan legal yang sah secara hukum wakaf, pengelolaan tanah ini harus dikembalikan kepada nadzir awal, bukan kepada institusi negara manapun.
Blang Padang dan Amanat Syariat
Apa yang terjadi di Blang Padang bukan sekadar soal penguasaan tanah, tetapi soal keadilan syariat dan amanat umat. Jika tanah wakaf yang telah ditetapkan untuk masjid bisa dengan mudah diklaim dan dialihfungsikan oleh institusi lain, maka hilanglah makna dan kekuatan hukum dari wakaf itu sendiri.
Dalam kerangka hukum nasional, UU Wakaf tidak memberikan ruang abu-abu dalam pengelolaan harta wakaf. Pemerintah atau negara tidak boleh serta-merta menguasai tanah wakaf hanya karena faktor keamanan atau politik. Bahkan dalam keadaan darurat sekalipun, status wakaf tetap melekat, dan pengelolaannya harus tunduk pada lembaga nazhir yang terdaftar dan diakui.
Saatnya Blang Padang Dikembalikan kepada Masjid Raya
Kami menyerukan kepada pemerintah, Kementerian Agama, Badan Wakaf Indonesia, dan ulama Aceh agar membuka mata dan telinga terhadap fenomena ini. Blang Padang bukan tanah negara. Ia adalah amanah umat yang diwakafkan untuk kemaslahatan Islam.
Jika pengelolaan tetap dipegang oleh pihak yang tidak memiliki legalitas wakaf, maka itu adalah bentuk perampasan diam-diam terhadap hak umat. Saatnya kita bersuara. Bukan untuk konflik, tapi untuk menegakkan marwah syariat dan hukum yang kita yakini bersama.
Kepada para tokoh dayah, ulama, ahli hukum, dan segenap masyarakat Aceh—jangan biarkan warisan wakaf para leluhur kita dirampas oleh logika kuasa. Saatnya Blang Padang kembali ke pangkuan Masjid Raya Baiturrahman, tempat di mana cahaya Islam Aceh berakar dan menyinari Nusantara.
Catatan: Tulisan ini adalah bentuk seruan ilmiah dan spiritual, ditulis demi keadilan dan kebenaran. Tidak untuk memprovokasi, tetapi untuk memperbaiki dan mengembalikan hak pada tempatnya.
Oleh: Tgk. Abdul Muhaimin, S. Sos., M.H.
Intelektual Muda Dayah dan Magister Hukum Universitas Malikussaleh